
Emigrasi dari China
Juga memahami sejarah singkat pendatang China di Indonesia
Emigrasi dan Imigrasi
Emigrasi adalah istilah keluar/perginya penduduk dari negara tempat mereka lahir ke negara lain. Imigrasi sebaliknya adalah istilah masuk/pindahnya penduduk dari negara lain ke negara asing yang bukan tanah kelahirannya, untuk hidup dan bekerja.
Emigrasi dan imigrasi sudah terjadi sejak abad 16 dan masih menjadi bagian dari dunia sampai detik ini. Setiap tahun tercatat sekitar 2.3 juta orang pindah dari satu negara ke negara lainnya, baik dari negara miskin ke negara maju, maupun antar negara yang sedang berkembang. Data tahun 1995 mencatat negara emigrasi terbesar adalah Mexico, Bangladesh., Afganistan dan Philipina. Sedangkan negara imigrasi terbesar yaitu Amerika, Rusia dan Saudi Arabia. Diperkirakan pada tahun 2050, jumlah imigran akan mencapai 230 juta orang di seluruh dunia.
Kenapa penduduk berpindah ?
Banyak alasan yang membuat penduduk melakukan emigrasi. Ada yang bersifat sementara, namun ada yang berniat menetap. Ada yang berdasarkan keinginan sendiri, dan banyak yang karena terpaksa. Mulai dari ingin memperbaiki hidup, mencari kerja yang lebih baik, menghindari perang, keluar dari kemiskinan dan kepadatan penduduk, terintimidasi sehubungan dengan SARA, politik negara yang buruk dan bencana alam.
Namun apapun alasannya, hal ini bukanlah suatu keputusan yang mudah. Seseorang pasti mempunyai alasan yang sangat kuat untuk memilih pindah meninggalkan keluarga dan sanak saudara, teman-teman, makanan setempat, dan kebudayaan tradisional yang telah begitu akrab dikenal dan harus berjuang dari awal untuk hidup di negara baru yang begitu asing dengan segala perbedaan bahasa dan kebudayaan. Bayangkan betapa beratnya keputusan itu.
1. Hubungan Dagang China di abad 16 dan 17
Saat itu China adalah salah satu negara terbesar di dunia. Tanahnya luas, jumlah penduduknya banyak, mempunyai kebudayaan tertua yang terkenal dengan kemajuan tehnologi misalnya metode membuat kertas, kain sutra, keramik, lukisan dan mesiu senjata. Semua penemuan ini dengan antusias ditiru oleh bangsa Eropa, tetapi tidak sebaliknya, China menolak meniru tehnologi Barat sehingga dikemudian hari menyebabkan perkembangan China jauh tertinggal. China juga bersikap menutup diri dari perdagangan dengan negara Barat, karena menganggap akan membawa pengaruh buruk misalnya perdagangan ganja dan penyebaran agama.
Dalam hubungan perdagangan, China menjalin kerjasama erat dengan negara Asia Tenggara, dimana banyak pedagang China tersebar di negara Vietnam, Thailand, Philipina, Malaysia, Singapore dan Jawa-Sumatra. Pedagang China datang ke Indonesia untuk menjual kain, keramik & teh dan sebaliknya membeli beras, kopi dan rempah2 untuk dijual di negara China. Hubungan dagang keduanya sangat harmonis.
Tercatat pada abad 16 itu, bangsa Eropa memperluas kekuatannya dengan menduduki negara Asia Tenggara, yaitu Spanyol menjajah Philipina dan Indonesia jatuh ke tangan Belanda. Disusul kemudian Inggris menduduki Malaysia, Singapore dan akhirnya Perancis merebut Vietnam.
Pada masa Indonesia dijajah Belanda, para pedagang China tetap menjalin hubungan dagang dengan Indonesia seperti sebelumnya. Disamping itu, karena mempunyai pengalaman berdagang yang lebih banyak, pihak Belanda memberi kepercayaan kepada China untuk menjadi perantara perdagangan antara Belanda dan petani setempat. Belanda juga mengundang pedangang China dan keluarga besarnya ke Batavia untuk menghidupkan roda perekonomian di Batavia yang waktu itu sepi. Hal ini menyebabkan ribuan pedagang China datang ke Indoneisa, menyambut undangan Belanda.
2. Krisis China di abad 18
Bangsa Eropa terutama Inggris masih terus memaksa China untuk membuka perdagangan bebas sehingga mereka dapat menjual ganja dan mampu membeli teh China yang mahal harganya. Karena China masih tertinggal dalam bidang perkapalan dan senjata api, akhirnya China menyerah kalah dalam perang dan membuka beberapa pelabuhannya untuk berdagang dengan negara Barat, termasuk juga harus menyerahkan Hong Kong kepada Inggris.
Di dalam negara China sendiri, masalah pertumbuhan penduduk yang begitu pesat menyebabkan keresahan sosial, pergolakan masyarakat, kelaparan dan kemiskinan. Penduduk berjuang keras memperebutkan lahan baru dan jatah air untuk keluarga. Dengan terbukanya pelabuhan dagang di China, tersebar luas berita kesempatan kerja di negara asing yang menjanjikan penghasilan lebih baik. Mereka memutuskan untuk mengadu untung dan bersedia bekerja dimana saja termasuk Indonesia yang waktu itu merupakan daerah jajahan Belanda. Emigrasi pekerjapun dimulai.
3. Perdagangan kuli (Coolie)
Pada saat itulah muncul istilah perdagangan kuli di China. Teorinya perdagangan kuli adalah perjanjian antara perusahaan penyewa (luar negeri) dan kuli (China) dimana kontrak kerja 3 tahun dan dibayar sejumlah uang pada akhir kontrak. Kuli ditempatkan bekerja di perkebunan tebu (Cuba dan Hawaii), di pertambangan perak (Peru dan Brazil), di pembangunan jalan raya (Afrika utara), juga dikirim ke Malaysia dan Indonesia untuk bekerja di pertambangan timah dan perkebunan karet.
Ternyata mengejar mimpi untuk bekerja di negara orang sama dengan mempertaruhkan nyawa. Para kuli dipilih di pelabuhan tanpa tawar menawar, dengan hanya membawa sebungkus baju mereka langsung diangkut ke kapal. Karena keadaan di kapal berdesakan dan memprihatinkan, ditambah perjalanan yang memakan waktu berminggu-minggu maka biasanya lebih dari separuh jumlah kuli sakit dan meninggal sebelum sampai di negara tujuan. Biasanya sanak keluarga di China tidak mengetahui hal ini dan tetap mengharapkan suatu hari mereka semua pulang membawa keberuntungan.
Di tempat kerja keadaan juga lebih parah. Pekerjaaan kuli sangat melelahkan dan berbahaya, karena mereka harus kerja tanpa henti dari matahari terbit sampai terbenam, juga ratusan kuli mati kena bom dan terkubur hidup2 di reruntuhan waktu menggali terowongan di tambang. Dengan pengorbanan dan resiko sedemikian rupa, kenyataan paling pahit adalah pembayaran upah tidak sesuai perjanjian kontrak. Banyak dari mereka setelah 3 tahun kontrak, harus tetap tinggal di negara tersebut berharap dapat mengumpulkan lebih banyak tabungan untuk dibawa pulang ke China. Mereka berdagang kecil2an atau membuka toko kelontong.
Di Indonesia, pemerintah Belanda menjalankan politik memecah belah dengan sengaja mengotak-ngotakan penduduk lokal dan pendatang dari China. Mereka masing2 hidup di daerah yang berbeda, ada daerah khusus Eropa, daerah khusus China dan ada daerah khusus penduduk lokal. Masing2 mempunyai sekolah, toko, restoran, bank, kantor pos dan peraturan administrasi terpisah. Pernikahan diantara keduanya ditentang dan mereka tidak makan bersama. Pemisahan ini membuat penduduk China di Indonesia menjadi suatu komunitas minor yang terisolasi sebatas daerah tertentu saja. ( Kota-Glodok). Sedangkan untuk meredam kekuatan keduanya, Belanda kerap melancarkan politik adu domba.
4. Penemuan emas di Amerika, Australia dan New Zealand
Kabar bahwa perlakuan terhadap para kuli di negara asing sangat buruk, membuat penduduk di China menjadi resah, marah dan jera. Mereka akhirnya memutuskan mencoba mencari keberuntungan di Amerika dan Australia, ketika pada abad 1840 tersebar berita bahwa ditemukan tambang emas disana. Tidak hanya China, banyak penambang Eropa dan Amerika yang berbondong-bondong menyerbu kesana juga.
Dan penambang China sekali lagi mendapat banyak tantangan berat. Mereka diberi jatah daerah tambang yang bekas, artinya sudah pernah ditambang dan hanya tersisa sedikit kandungan emasnya. Perawakan tubuh yang lebih kecil dan penampilan penambang China yang berbeda, membuat mereka sering jadi korban kekerasan ras dan pencurian. Para penambang dari Barat kerap kali melampiaskan rasa frustasi dengan menyalahkan penambang China atas hasil tambang yang tipis dan dengan alasan itu penambang China dipukul, dibunuh, dihancurkan tenda dan peralatannya. Untuk bertahan hidup penambang China mau tidak mau hidup terpisah dan berkelompok, mereka terus bekerja keras dan menghibur diri dengan berjudi.
5. Mengisi lowongan kerja
Menyadari bahwa tambang emas tidak bisa membuat mereka cepat pulang ke negara China dengan hasil yang membanggakan, akhirnya mereka beralih dan memutuskan bekerja di pembuatan jalan raya, perkebunan nanas, dan tambang batu bara. Beberapa dari mereka yang mempunyai modal minim, membuka usaha restoran, bisnis cuci baju, menjahit baju, berkebun, menjual sayur2an dan membuat perkakas rumah tangga.
Keberadaan pekerja dan pengusaha kecil China ini dimusuhi oleh organisasi buruh kelompok masyarakat Barat yang Anti China. Mereka memaksa pemerintah melarang imigrasi dari China, mereka menghasut perusahaan industri untuk tidak memperkerjakan tenaga China yang murah, mereka memberlakukan tes bahasa inggris untuk mempersulit lowongan pekerjaan, mereka juga mengenakan system pajak yang tinggi untuk investor China.
Semua hal diatas kembali memojokkan pendatang China di Amerika, Canada, Australia dan New Zealand untuk hidup bersama dan berkelompok demi mempertahankan diri. Tidak heran hampir di semua negara tersebut ada daerah yang di sebut China Town. Namun seramai-ramainya China Town, mereka masih berharap suatu hari bisa pulang kembali ke keluarga di China.
6. Perang Dunia Kedua dan Komunis
Pada masa perang dunia kedua dan berkuasanya komunis (Mao Tse Tung) setelah perang tersebut membuat mimpi para imigran China untuk pulang ke China menjadi kandas. Mereka harus menelan kenyataan pahit bahwa mereka tidak bisa kembali ke China selamanya, karena membahayakan jiwa dan nasib keluarga. Sejak saat itu para imigran China berharap ada jalan untuk mendatangkan keluarga mereka dari China ke negara tempat mereka bekerja.
Di Amerika dan Australia, harapan mereka ini terpenuhi dengan diberlakukannya kebijakan imigrasi yang memperbolehkan reuni keluarga, khusus bagi istri dan anak yang masih berada di China.
Kondisi negara China yang berubah memjadi surga para komunis, membuat penduduk China yang anti komunis melarikan diri ke Taiwan dan negara Asia Tenggara termasuk salah satunya Indonesia.
7. Diskriminasi di Indonesia
Setelah Perang Dunia Kedua selesai, kondisi para pendatang dari China yang hidup di Amerika, Australia dan negara Eropah mengalami kemajuan yang besar dengan diterimanya para imigran dalam komunitas masyaraka secara baik-baik.
Namun tidak demikian yang terjadi pada imigran China yang memutuskan pindah dan menetap di negara Asia Tenggara, terutama Malaysia dan Indonesia.
Usai masa penjajahan Belanda dan Jepang pada tahun 1945, pemeritah baru Indonesia mencoba membangun rasa Nasionalis Bangsa untuk menyatukan negara kepulauannya. Mereka memilih agama Islam sebagai identitas baru karena memang sebagian besar penduduk Indonesia menganutnya dan membentuk Bahasa Indonesia sebagai bahasa penyatu . (Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa).
Hal ini menyebabkan keberadaan penduduk China di Indonesia yang berbeda bahasa, agama dan warna kulit menjadi maslah besar karena dianggap tidak cocok dengan identitas baru Indonesia. Juga karena mereka rata2 pedagang yang cukup berhasil dan dianggap pro Belanda. Dan sejak saat itu pemerintah mengambil sikap untuk tidak lagi menerima pendatang China di Indonesia.
Perlakuan kepada penduduk China penuh nuansa diskriminasi, misalnya toko2 China ditutup paksa, juga sekolah dan penerbitan korannya. Peraturan2 dibuat untuk menyudutkan penduduk China mulai dari KTP, SKBRI, larangan merayakan hari raya, larangan berbahasa China dan sampai harus ganti nama. Pemerintah juga mendorong penduduk lokal untuk menolak penduduk China dengan membiarkan saja perusakan toko dan rumah penduduk China dan pembakaran tempat ibadahnya.
Perlakuan diskriminasi ini mendorong banyak penduduk China sekali lagi melakukan emigrasi ke Singapore yang menerima mereka dengan baik. Selain penduduk China pada masa yang sama sekitar tahun 1950, juga terjadi emigrasi 150.000 penduduk Indonesia (pribumi) ke Belanda didorong oleh kekhawatiran karena reputasi mereka yang mempunyai hubungan baik dengan bekas penjajah Belanda.
8. Emigrasi modern
Tahun 1966 adalah tahun dibukanya kembali kebijakan imigrasi penduduk dari China dan negara Asia Tenggara ke Eropa, Amerika dan Australia, setelah setengah abad lamanya dilarang. Maka pada masa itu terjadi emigrasi besar2an penduduk Philipina ke Amerika, penduduk China dan Hongkong ke Inggris dan Korea mencari kesempatan le Timur Tengah. Hal ini juga memberi harapan baru bagi para penduduk keturunan China di Indonesia dan Malaysia, yang menghadapi konflik diskriminasi ras maupun agama.
Sejak saat itu pula penduduk China yang bekerja di negara asing bukan lagi sebagai kuli dan buruh pabrik, melainkan sebagai tenaga ahli di bidang komputer, insinyur, pengacara, dokter, pilot dan pelaku bisnis catering restoran.
China Town yang sebelumnya dianggap sebagai daerah kumuh dan berbahaya menjadi salah satu pusat daya tarik turis di Sydney, San Francisco dan Vancouver. Dengan beragamnya Chinese food, pertunjukan kung fu & barongsai dan pengobatan China kuno seperti akupuntur, China Town menawarkan sesuatu kebudayaan unik yang sulit ditemukan di tempat lain.
Emigrasi dan imigrasi sudah terjadi sejak abad 16 dan masih menjadi bagian dari dunia sampai detik ini. Setiap tahun tercatat sekitar 2.3 juta orang pindah dari satu negara ke negara lainnya, baik dari negara miskin ke negara maju, maupun antar negara yang sedang berkembang. Data tahun 1995 mencatat negara emigrasi terbesar adalah Mexico, Bangladesh., Afganistan dan Philipina. Sedangkan negara imigrasi terbesar yaitu Amerika, Rusia dan Saudi Arabia. Diperkirakan pada tahun 2050, jumlah imigran akan mencapai 230 juta orang di seluruh dunia.
Kenapa penduduk berpindah ?
Banyak alasan yang membuat penduduk melakukan emigrasi. Ada yang bersifat sementara, namun ada yang berniat menetap. Ada yang berdasarkan keinginan sendiri, dan banyak yang karena terpaksa. Mulai dari ingin memperbaiki hidup, mencari kerja yang lebih baik, menghindari perang, keluar dari kemiskinan dan kepadatan penduduk, terintimidasi sehubungan dengan SARA, politik negara yang buruk dan bencana alam.
Namun apapun alasannya, hal ini bukanlah suatu keputusan yang mudah. Seseorang pasti mempunyai alasan yang sangat kuat untuk memilih pindah meninggalkan keluarga dan sanak saudara, teman-teman, makanan setempat, dan kebudayaan tradisional yang telah begitu akrab dikenal dan harus berjuang dari awal untuk hidup di negara baru yang begitu asing dengan segala perbedaan bahasa dan kebudayaan. Bayangkan betapa beratnya keputusan itu.
1. Hubungan Dagang China di abad 16 dan 17
Saat itu China adalah salah satu negara terbesar di dunia. Tanahnya luas, jumlah penduduknya banyak, mempunyai kebudayaan tertua yang terkenal dengan kemajuan tehnologi misalnya metode membuat kertas, kain sutra, keramik, lukisan dan mesiu senjata. Semua penemuan ini dengan antusias ditiru oleh bangsa Eropa, tetapi tidak sebaliknya, China menolak meniru tehnologi Barat sehingga dikemudian hari menyebabkan perkembangan China jauh tertinggal. China juga bersikap menutup diri dari perdagangan dengan negara Barat, karena menganggap akan membawa pengaruh buruk misalnya perdagangan ganja dan penyebaran agama.
Dalam hubungan perdagangan, China menjalin kerjasama erat dengan negara Asia Tenggara, dimana banyak pedagang China tersebar di negara Vietnam, Thailand, Philipina, Malaysia, Singapore dan Jawa-Sumatra. Pedagang China datang ke Indonesia untuk menjual kain, keramik & teh dan sebaliknya membeli beras, kopi dan rempah2 untuk dijual di negara China. Hubungan dagang keduanya sangat harmonis.
Tercatat pada abad 16 itu, bangsa Eropa memperluas kekuatannya dengan menduduki negara Asia Tenggara, yaitu Spanyol menjajah Philipina dan Indonesia jatuh ke tangan Belanda. Disusul kemudian Inggris menduduki Malaysia, Singapore dan akhirnya Perancis merebut Vietnam.
Pada masa Indonesia dijajah Belanda, para pedagang China tetap menjalin hubungan dagang dengan Indonesia seperti sebelumnya. Disamping itu, karena mempunyai pengalaman berdagang yang lebih banyak, pihak Belanda memberi kepercayaan kepada China untuk menjadi perantara perdagangan antara Belanda dan petani setempat. Belanda juga mengundang pedangang China dan keluarga besarnya ke Batavia untuk menghidupkan roda perekonomian di Batavia yang waktu itu sepi. Hal ini menyebabkan ribuan pedagang China datang ke Indoneisa, menyambut undangan Belanda.
2. Krisis China di abad 18
Bangsa Eropa terutama Inggris masih terus memaksa China untuk membuka perdagangan bebas sehingga mereka dapat menjual ganja dan mampu membeli teh China yang mahal harganya. Karena China masih tertinggal dalam bidang perkapalan dan senjata api, akhirnya China menyerah kalah dalam perang dan membuka beberapa pelabuhannya untuk berdagang dengan negara Barat, termasuk juga harus menyerahkan Hong Kong kepada Inggris.
Di dalam negara China sendiri, masalah pertumbuhan penduduk yang begitu pesat menyebabkan keresahan sosial, pergolakan masyarakat, kelaparan dan kemiskinan. Penduduk berjuang keras memperebutkan lahan baru dan jatah air untuk keluarga. Dengan terbukanya pelabuhan dagang di China, tersebar luas berita kesempatan kerja di negara asing yang menjanjikan penghasilan lebih baik. Mereka memutuskan untuk mengadu untung dan bersedia bekerja dimana saja termasuk Indonesia yang waktu itu merupakan daerah jajahan Belanda. Emigrasi pekerjapun dimulai.
3. Perdagangan kuli (Coolie)
Pada saat itulah muncul istilah perdagangan kuli di China. Teorinya perdagangan kuli adalah perjanjian antara perusahaan penyewa (luar negeri) dan kuli (China) dimana kontrak kerja 3 tahun dan dibayar sejumlah uang pada akhir kontrak. Kuli ditempatkan bekerja di perkebunan tebu (Cuba dan Hawaii), di pertambangan perak (Peru dan Brazil), di pembangunan jalan raya (Afrika utara), juga dikirim ke Malaysia dan Indonesia untuk bekerja di pertambangan timah dan perkebunan karet.
Ternyata mengejar mimpi untuk bekerja di negara orang sama dengan mempertaruhkan nyawa. Para kuli dipilih di pelabuhan tanpa tawar menawar, dengan hanya membawa sebungkus baju mereka langsung diangkut ke kapal. Karena keadaan di kapal berdesakan dan memprihatinkan, ditambah perjalanan yang memakan waktu berminggu-minggu maka biasanya lebih dari separuh jumlah kuli sakit dan meninggal sebelum sampai di negara tujuan. Biasanya sanak keluarga di China tidak mengetahui hal ini dan tetap mengharapkan suatu hari mereka semua pulang membawa keberuntungan.
Di tempat kerja keadaan juga lebih parah. Pekerjaaan kuli sangat melelahkan dan berbahaya, karena mereka harus kerja tanpa henti dari matahari terbit sampai terbenam, juga ratusan kuli mati kena bom dan terkubur hidup2 di reruntuhan waktu menggali terowongan di tambang. Dengan pengorbanan dan resiko sedemikian rupa, kenyataan paling pahit adalah pembayaran upah tidak sesuai perjanjian kontrak. Banyak dari mereka setelah 3 tahun kontrak, harus tetap tinggal di negara tersebut berharap dapat mengumpulkan lebih banyak tabungan untuk dibawa pulang ke China. Mereka berdagang kecil2an atau membuka toko kelontong.
Di Indonesia, pemerintah Belanda menjalankan politik memecah belah dengan sengaja mengotak-ngotakan penduduk lokal dan pendatang dari China. Mereka masing2 hidup di daerah yang berbeda, ada daerah khusus Eropa, daerah khusus China dan ada daerah khusus penduduk lokal. Masing2 mempunyai sekolah, toko, restoran, bank, kantor pos dan peraturan administrasi terpisah. Pernikahan diantara keduanya ditentang dan mereka tidak makan bersama. Pemisahan ini membuat penduduk China di Indonesia menjadi suatu komunitas minor yang terisolasi sebatas daerah tertentu saja. ( Kota-Glodok). Sedangkan untuk meredam kekuatan keduanya, Belanda kerap melancarkan politik adu domba.
4. Penemuan emas di Amerika, Australia dan New Zealand
Kabar bahwa perlakuan terhadap para kuli di negara asing sangat buruk, membuat penduduk di China menjadi resah, marah dan jera. Mereka akhirnya memutuskan mencoba mencari keberuntungan di Amerika dan Australia, ketika pada abad 1840 tersebar berita bahwa ditemukan tambang emas disana. Tidak hanya China, banyak penambang Eropa dan Amerika yang berbondong-bondong menyerbu kesana juga.
Dan penambang China sekali lagi mendapat banyak tantangan berat. Mereka diberi jatah daerah tambang yang bekas, artinya sudah pernah ditambang dan hanya tersisa sedikit kandungan emasnya. Perawakan tubuh yang lebih kecil dan penampilan penambang China yang berbeda, membuat mereka sering jadi korban kekerasan ras dan pencurian. Para penambang dari Barat kerap kali melampiaskan rasa frustasi dengan menyalahkan penambang China atas hasil tambang yang tipis dan dengan alasan itu penambang China dipukul, dibunuh, dihancurkan tenda dan peralatannya. Untuk bertahan hidup penambang China mau tidak mau hidup terpisah dan berkelompok, mereka terus bekerja keras dan menghibur diri dengan berjudi.
5. Mengisi lowongan kerja
Menyadari bahwa tambang emas tidak bisa membuat mereka cepat pulang ke negara China dengan hasil yang membanggakan, akhirnya mereka beralih dan memutuskan bekerja di pembuatan jalan raya, perkebunan nanas, dan tambang batu bara. Beberapa dari mereka yang mempunyai modal minim, membuka usaha restoran, bisnis cuci baju, menjahit baju, berkebun, menjual sayur2an dan membuat perkakas rumah tangga.
Keberadaan pekerja dan pengusaha kecil China ini dimusuhi oleh organisasi buruh kelompok masyarakat Barat yang Anti China. Mereka memaksa pemerintah melarang imigrasi dari China, mereka menghasut perusahaan industri untuk tidak memperkerjakan tenaga China yang murah, mereka memberlakukan tes bahasa inggris untuk mempersulit lowongan pekerjaan, mereka juga mengenakan system pajak yang tinggi untuk investor China.
Semua hal diatas kembali memojokkan pendatang China di Amerika, Canada, Australia dan New Zealand untuk hidup bersama dan berkelompok demi mempertahankan diri. Tidak heran hampir di semua negara tersebut ada daerah yang di sebut China Town. Namun seramai-ramainya China Town, mereka masih berharap suatu hari bisa pulang kembali ke keluarga di China.
6. Perang Dunia Kedua dan Komunis
Pada masa perang dunia kedua dan berkuasanya komunis (Mao Tse Tung) setelah perang tersebut membuat mimpi para imigran China untuk pulang ke China menjadi kandas. Mereka harus menelan kenyataan pahit bahwa mereka tidak bisa kembali ke China selamanya, karena membahayakan jiwa dan nasib keluarga. Sejak saat itu para imigran China berharap ada jalan untuk mendatangkan keluarga mereka dari China ke negara tempat mereka bekerja.
Di Amerika dan Australia, harapan mereka ini terpenuhi dengan diberlakukannya kebijakan imigrasi yang memperbolehkan reuni keluarga, khusus bagi istri dan anak yang masih berada di China.
Kondisi negara China yang berubah memjadi surga para komunis, membuat penduduk China yang anti komunis melarikan diri ke Taiwan dan negara Asia Tenggara termasuk salah satunya Indonesia.
7. Diskriminasi di Indonesia
Setelah Perang Dunia Kedua selesai, kondisi para pendatang dari China yang hidup di Amerika, Australia dan negara Eropah mengalami kemajuan yang besar dengan diterimanya para imigran dalam komunitas masyaraka secara baik-baik.
Namun tidak demikian yang terjadi pada imigran China yang memutuskan pindah dan menetap di negara Asia Tenggara, terutama Malaysia dan Indonesia.
Usai masa penjajahan Belanda dan Jepang pada tahun 1945, pemeritah baru Indonesia mencoba membangun rasa Nasionalis Bangsa untuk menyatukan negara kepulauannya. Mereka memilih agama Islam sebagai identitas baru karena memang sebagian besar penduduk Indonesia menganutnya dan membentuk Bahasa Indonesia sebagai bahasa penyatu . (Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa).
Hal ini menyebabkan keberadaan penduduk China di Indonesia yang berbeda bahasa, agama dan warna kulit menjadi maslah besar karena dianggap tidak cocok dengan identitas baru Indonesia. Juga karena mereka rata2 pedagang yang cukup berhasil dan dianggap pro Belanda. Dan sejak saat itu pemerintah mengambil sikap untuk tidak lagi menerima pendatang China di Indonesia.
Perlakuan kepada penduduk China penuh nuansa diskriminasi, misalnya toko2 China ditutup paksa, juga sekolah dan penerbitan korannya. Peraturan2 dibuat untuk menyudutkan penduduk China mulai dari KTP, SKBRI, larangan merayakan hari raya, larangan berbahasa China dan sampai harus ganti nama. Pemerintah juga mendorong penduduk lokal untuk menolak penduduk China dengan membiarkan saja perusakan toko dan rumah penduduk China dan pembakaran tempat ibadahnya.
Perlakuan diskriminasi ini mendorong banyak penduduk China sekali lagi melakukan emigrasi ke Singapore yang menerima mereka dengan baik. Selain penduduk China pada masa yang sama sekitar tahun 1950, juga terjadi emigrasi 150.000 penduduk Indonesia (pribumi) ke Belanda didorong oleh kekhawatiran karena reputasi mereka yang mempunyai hubungan baik dengan bekas penjajah Belanda.
8. Emigrasi modern
Tahun 1966 adalah tahun dibukanya kembali kebijakan imigrasi penduduk dari China dan negara Asia Tenggara ke Eropa, Amerika dan Australia, setelah setengah abad lamanya dilarang. Maka pada masa itu terjadi emigrasi besar2an penduduk Philipina ke Amerika, penduduk China dan Hongkong ke Inggris dan Korea mencari kesempatan le Timur Tengah. Hal ini juga memberi harapan baru bagi para penduduk keturunan China di Indonesia dan Malaysia, yang menghadapi konflik diskriminasi ras maupun agama.
Sejak saat itu pula penduduk China yang bekerja di negara asing bukan lagi sebagai kuli dan buruh pabrik, melainkan sebagai tenaga ahli di bidang komputer, insinyur, pengacara, dokter, pilot dan pelaku bisnis catering restoran.
China Town yang sebelumnya dianggap sebagai daerah kumuh dan berbahaya menjadi salah satu pusat daya tarik turis di Sydney, San Francisco dan Vancouver. Dengan beragamnya Chinese food, pertunjukan kung fu & barongsai dan pengobatan China kuno seperti akupuntur, China Town menawarkan sesuatu kebudayaan unik yang sulit ditemukan di tempat lain.
No comments:
Post a Comment